Selera pada Desain Grafis

Selera pada Desain GrafisMemiliki selera adalah hal yang manusiawi. Setiap orang punya selera, baik tua maupun muda. Tidak ada yang salah dengan selera, karena manusia diciptakan berbeda-beda dan setiap orang berhak atas hasrat menyukai terhadap apa pun yang menarik baginya. Disadari maupun tidak, hampir setiap keputusan yang kita ambil sehari-hari dikendalikan oleh selera kita. Mulai dari hal-hal mendasar seperti memilih gaya rambut, makanan favorit, sepatu, dll, sampai kepada hal-hal yang rumit semisal memilih pasangan hidup. Yeah, itu semua selera. Dan setiap orang berhak punya selera.

Lantas bagaimana dengan selera masing-masing orang terhadap hasil dari suatu karya desain grafis? Sama..!, dalam desain grafis pun setiap orang punya seleranya masing-masing. Contoh kecil saja, berbeda orang maka berbeda pula warna favoritnya. Ada yang suka warna merah, biru dan sebagainya. Belum lagi jika bicara masalah seberapa besar kadar kesukaan orang terhadap warna favoritnya. Bisa jadi ada yang biasa saja, bisa jadi ada yang cukup fanatik, sampai-sampai segala macam aksesoris, pakaian yang dikenakan, sampai kamar tidur harus mengandung unsur warna tersebut. Itu baru warna, belum lagi kita membahas keseluruhan elemen-elemen lain yang terkandung dalam desain grafis, Pasti kita akan menemukan lebih banyak perbedaan lagi.

Perbedaan atas dasar selera ini lah yang kadang (atau sering) menimbulkan suatu kondisi yang biasa disebut "never ending revision", yaitu suatu kondisi dimana klien tidak berhenti merevisi hasil karya yang telah dikerjakan desainer grafis, sepertinya tidak pernah puas. Kondisi ini seringnya membuat desainer grafis stress berat. Saya yakin hampir semua desainer grafis pernah mengalami kondisi yang mirip seperti ini.

Selera dalam desain grafis adalah selera yang dibangun berdasarkan pertimbangan estetika/seni. Menurut Immanuel Kant, salah seorang filsuf terkenal dunia, pertimbangan estetika adalah pertimbangan yang didasarkan atas selera seseorang terhadap apa yang dinilainya bagus, cantik, menarik, dll. Pertimbangan estetika ini didasarkan pada perasaan subjektif dan sifatnya sangat relatif. Pertimbangan estetika seperti inilah yang memunculkan istilah "selera bagus" (good taste) dan "selera jelek" (bad taste). Walaupun demikian, dilandasi atas dasar apapun, kita tidak berhak untuk menjudge seseorang punya selera bagus atau pun jelek.

Immanuel Kant juga tidak mengakui adanya "selera bagus" atau pun "selera jelek". Menurutnya, selera yang ada itu adalah selera pasar. Selera pasar inilah yang kemudian menjadi patokan dalam dunia advertising dan media sampai dengan hari ini.. Tidak jauh, kenapa sinetron-sinetron indonesia tetap bertahan dengan ide cerita yang itu-itu saja? Tentu karena pasar suka dengan cerita yang itu-itu saja. Sesuai dengan prinsip dasar dalam teori ilmu ekonomi, ada permintaan maka ada penawaran.